
Penolakan Praperadilan Nadiem Makarim oleh PN Jakarta Selatan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) telah menolak upaya hukum praperadilan yang diajukan oleh mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim. Namun, tim kuasa hukum Nadiem, Dodi Abdulkadir, menyatakan bahwa proses penetapan Nadiem sebagai tersangka tidak dilakukan dengan melalui audit yang memadai untuk membuktikan adanya kerugian negara.
Dodi menjelaskan bahwa praperadilan hanya menilai aspek formil dan prosedural dari penetapan tersangka, bukan bagian pokok perkara. Menurutnya, seharusnya hakim dapat mempertimbangkan berbagai aspek penting dalam penetapan tersangka sebagai bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia.
“Kami mengharapkan bahwa hakim akan melakukan terobosan hukum sehingga dapat memberikan penemuan hukum yang baru. Namun, rupanya hakim tetap berpedoman pada norma-norma positif yang sudah baku,” ujarnya.
Ia menuding bahwa berbagai cacat prosedur dalam penetapan tersangka Nadiem sudah disampaikan selama sidang praperadilan yang berlangsung sejak 3 Oktober 2025 hingga putusan hari ini. Menurutnya, dua ahli hukum pidana yang dihadirkan oleh jaksa maupun tim kuasa hukum memiliki argumen yang sama terkait materi kerugian negara.
Ahli hukum pidana Suparji Ahmad dari Universitas Al Azhar Indonesia, yang dihadirkan sebagai saksi ahli oleh Kejaksaan Agung (Kejagung), menyatakan bahwa kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi harus bersifat nyata (actual loss), bukan sekadar potensi (potential loss).
Sementara itu, Ahli Hukum Pidana Khairul Huda dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) menegaskan bahwa alat bukti paling relevan untuk menetapkan tersangka dengan pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) adalah adanya kerugian negara.
Oleh karena itu, Dodi menekankan bahwa pihaknya akan terus menuntut bukti sah yang menunjukkan adanya kerugian negara secara nyata dan pasti (actual loss), bukan sekadar dugaan atau potensi (potential loss) dalam kasus yang dipersangkakan terhadap Nadiem.
“Artinya, hingga hari ini, tidak ada unsur kerugian negara sebagaimana ditegaskan oleh BPKP, lembaga yang sah menurut undang-undang untuk melakukan audit keuangan negara,” tegasnya.
Putusan Hakim Terkait Proses Hukum Kejaksaan Agung
Sebelumnya, Hakim Tunggal PN Jaksel I Ketut Darpawan secara resmi menolak praperadilan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim. Hakim menilai proses hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menetapkan Nadiem sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook sah menurut hukum.
“Menolak permohonan praperadilan pemohon,” tegas Hakim Tunggal I Ketut Darpawan saat membacakan amar putusan di ruang sidang Oemar Seno Adji PN Jaksel, Senin (13/10).
Hakim menyatakan bahwa Kejagung dalam melakukan proses penyidikan telah didasari oleh bukti-bukti, sehingga proses hukum yang berlaku sah secara hukum.
“Hakim Praperadilan berpendapat penyidikan yang dilakukan oleh termohon untuk mengumpulkan bukti-bukti agar menjadi terang tindak pidana guna menemukan tersangka sudah dilaksanakan berdasarkan prosedur hukum acara pidana, karenanya sah menurut hukum,” pungkasnya.
Kasus Pengadaan Laptop dalam Program Digitalisasi Pendidikan
Permohonan praperadilan ini dilayangkan setelah Nadiem Anwar Makarim ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam Program Digitalisasi Pendidikan periode 2019–2022.
Nadiem terjerat dalam proyek pengadaan 1,2 juta unit laptop untuk sekolah di seluruh Indonesia, khususnya wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), dengan nilai anggaran mencapai Rp 9,3 triliun.
Kejagung menemukan bahwa pengadaan laptop tersebut menggunakan sistem operasi Chrome atau Chromebook. Meski demikian, kebijakan ini dinilai tidak efektif untuk menunjang pembelajaran di daerah 3T yang sebagian besar belum memiliki akses internet memadai.
Selain Nadiem, Kejagung juga menetapkan empat tersangka lainnya. Mereka adalah Mulyatsyah selaku Direktur SMP Kemendikbudristek 2020–2021, Sri Wahyuningsih selaku Direktur SD Kemendikbudristek 2020–2021, mantan staf khusus Mendikbudristek Jurist Tan, serta mantan konsultan teknologi di Kemendikbudristek Ibrahim Arief.
Menurut hasil perhitungan awal, akibat perbuatan para tersangka, negara diduga mengalami kerugian hingga Rp 1,98 triliun. Kerugian itu terdiri dari dugaan penyimpangan pada pengadaan item software berupa Content Delivery Management (CDM) sebesar Rp 480 miliar dan praktik mark up harga laptop yang diperkirakan mencapai Rp 1,5 triliun.