
Perkembangan Terbaru dalam Pengajuan Uji Materiil terhadap Undang-Undang KIP
Seorang advokat bernama Komarudin mengajukan uji materiil terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan ini menyangkut keterbukaan ijazah pejabat dan mantan pejabat negara. Pemohon berargumen bahwa Pasal 17 huruf g, Pasal 17 huruf h angka 5, serta Pasal 18 ayat 2 huruf a dari UU KIP memiliki ketidakjelasan dalam penerapannya.
Ketidakjelasan dalam Penerapan Pasal-Pasal Terkait
Menurut Pemohon, Pasal 17 huruf g UU 14/2008 menjadi multitafsir karena ada yang menganggap ijazah sebagai dokumen rahasia, sementara yang lain mengatakan ijazah bukan dokumen rahasia. Hal ini menyebabkan keraguan dan kegaduhan dalam masyarakat. Di sisi lain, Pasal 18 ayat 2 huruf a justru menyatakan bahwa ijazah adalah dokumen rahasia, sehingga tidak dapat dilihat tanpa persetujuan tertulis dari pemiliknya.
Pemohon menilai perbedaan norma-norma ini berpotensi mengganggu ketertiban nasional dan merusak sistem pendidikan. Kerugian yang dialami oleh Pemohon antara lain adanya demo dan perdebatan yang sering terjadi, serta gangguan pada situasi ekonomi akibat ketidakjelasan tersebut.
Contoh Kasus Ijazah Presiden Joko Widodo
Komarudin memberikan contoh kasus mengenai ijazah Presiden ke-RI Joko Widodo (Jokowi), yang disebut lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM). Namun, universitas tersebut tidak memberikan keterangan yang disertai bukti, sehingga situasi semakin memperburuk kegaduhan.
Dalam hal ini, Komarudin melakukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum ke Pengadilan Negeri Sleman terhadap sikap dari universitas tersebut. Selain itu, Pemohon juga berupaya mengajukan mediasi agar dokumen yang membuat gaduh tersebut dihadirkan di pengadilan, namun lagi-lagi UGM tidak bersedia.
Permintaan kepada Mahkamah Konstitusi
Komarudin meminta MK menyatakan bahwa Pasal 17 Huruf (g) UU KIP yang berbunyi "Informasi Publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang adalah informasi dikecualikan,” tetapi skripsi, Ijazah seorang pejabat, mantan pejabat negara dan atau semua yang telah digaji dengan menggunakan uang negara tidak termasuk dokumen yang dikecualikan dan dapat diminta jika dibutuhkan keabsahannya oleh publik.
Selain itu, Komarudin meminta MK dapat menyatakan bahwa skripsi dan ijazah yang dimiliki oleh pejabat publik/ASN bukan dokumen yang dikecualikan dan dikeluarkan dari Pasal 17 huruf g dan h. Serta, menyatakan bahwa baik skripsi, Ijazah, maupun surat keterangan lainnya bukan termasuk dokumen dikecualikan berdasarkan undang-undang Nomor 14 tahun 2008 pasal 17.
Persyaratan dalam Pengajuan Permohonan
Bagi pejabat publik/ASN atau pegawai/pejabat BUMN baik yang masih aktif maupun sudah pensiun dan dapat diminta oleh publik jika dokumen tersebut digunakan untuk dipelajari, diperiksa karena dicurigai palsu oleh instansi yang memiliki kompetensi atau dapat diminta melalui pengadilan baik pengadilan Tata Usaha Negara maupun Pengadilan Negeri demi kepastian hukum.
Pandangan Hakim Konstitusi
Respon terhadap gugatan tersebut diberikan oleh Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur, yang memberikan catatan tentang perlunya kehati-hatian Pemohon dalam mengutip kalimat yang tidak baku, sehingga naskah permohonan menjadi lebih tegas dan tepat.
“Dasar hukum yang digunakan pada permohonan ini masih perlu disesuaikan dengan contoh putusan dari laman MK yang sudah menjadi yurisprudensi, menjadi rujukan dalam menulis (permohonan) yang benar,” jelas Ridwan.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arsul Sani menasihati agar Pemohon membaca Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 7 Tahun 2025 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 7/2025).
“Selain itu, Pemohon membaca putusan MK yang mengabulkan, yang memuat duduk perkara di dalamnya ada kewenangan Mahkamah hingga petitum, ini penting dalam mengajukan permohonan,” pungkasnya.