Masa Depan Industri Padat Karya Terancam

Perubahan Struktur Ekonomi dan Dampaknya pada Sektor Manufaktur

Indonesia sedang mengalami pergeseran signifikan dalam struktur ekonominya. Tren pergeseran sektor industri padat karya ke sektor padat modal telah menyebabkan penurunan penciptaan lapangan kerja formal. Hal ini terlihat dari melemahnya pertumbuhan industri padat karya seperti tekstil dan garmen dalam beberapa tahun terakhir.

Riset yang dilakukan oleh IFG Progress, sebuah lembaga think tank Indonesia Financial Group (IFG), menunjukkan bahwa penurunan kapasitas produksi, PHK massal, serta meningkatnya tekanan serbuan barang impor, mengindikasikan bahwa industri tekstil semakin dekat dengan fase sunset industry. Sejalan dengan pelemahan tersebut, penyerapan tenaga kerja dari manufaktur yang selama ini ditopang oleh sektor padat karya makin berkurang.

LPEM FEB UI melaporkan bahwa elastisitas tenaga kerja formal dalam industri manufaktur turun drastis dari 1,77% menjadi 0,58% antara 2023–2024. Sementara itu, elastisitas tenaga kerja informal juga menurun tajam dari 1,89% menjadi hanya 0,06%. Peneliti LPEM FEB UI Arshintya Damayati menjelaskan bahwa manufaktur kini tidak lagi mampu mengungkit serapan tenaga kerja, baik formal maupun informal. Kini, sektor jasa menjadi andalan bagi pekerja informal.

Alasan Minimnya Serapan Tenaga Kerja dari Manufaktur

Arshintya mengungkap dua penyebab utama minimnya serapan tenaga kerja dari manufaktur. Pertama, ada kondisi mismatch keterampilan sumber daya manusia (SDM) dengan pengembangan industri. Tenaga kerja lokal disebut belum memiliki keahlian yang dibutuhkan industri manufaktur modern. Kedua, perkembangan teknologi, khususnya otomatisasi dan AI, membuat industri semakin padat modal, bukan padat karya.

Selain itu, sektor-sektor padat karya seperti tekstil dan alas kaki justru melemah karena daya beli menurun, sementara sektor yang tumbuh adalah yang padat modal. Hal ini menyebabkan pertumbuhan output tidak banyak menciptakan pekerjaan baru.

Masa Depan Manufaktur dan Pergeseran Menuju Teknologi Tinggi

Dalam jangka pendek, manufaktur padat karya tetap menjadi quick wins untuk menyerap tenaga kerja, apalagi dengan adanya bonus demografi. Namun, Arshintya menilai industri juga harus bersiap menghadapi pergeseran menuju manufaktur berteknologi tinggi. Ia menegaskan bahwa dalam 5-10 tahun ke depan, industri padat karya masih sangat diperlukan untuk menyerap tenaga kerja.

Untuk itu, program reskilling dan upskilling harus disiapkan sejak sekarang. Tanpa langkah tersebut, jutaan pekerja di sektor padat karya berisiko kehilangan mata pencaharian ketika transisi terjadi. Di sisi lain, Vietnam bisa menjadi contoh baik. Negara tersebut beralih dari industri garmen ke elektronik dan otomotif dengan menyiapkan tenaga kerja melalui pelatihan vokasi dan kemitraan industri.

Data yang Mengkhawatirkan

Data menunjukkan bahwa kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB Indonesia menurun dari 32% pada era 1980–1990-an menjadi 18%–19% saat ini. Angka ini lebih rendah dibandingkan negara-negara lain seperti China, Vietnam, dan Malaysia yang masih menjaga kontribusi manufaktur di kisaran 20%–29%.

Menurut Arshintya, kontribusi manufaktur Indonesia idealnya dijaga di kisaran 20%—25% dari PDB agar target 2045 tidak terlalu jauh. Namun, data-data tersebut menunjukkan adanya sinyal deindustrialisasi dini. Menurutnya, perekonomian idealnya bergerak dari pertanian, ke manufaktur, lalu ke jasa. Namun, Indonesia justru bergeser ke jasa sebelum sektor manufaktur mencapai kematangan.

Dampak pada Penerimaan Negara

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai meningkatnya proporsi pekerja informal di sektor manufaktur berpotensi menekan kontribusi sektor tersebut terhadap penerimaan pajak negara. Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Andry Satrio Nugroho menjelaskan bahwa tren informalitas tenaga kerja di sektor manufaktur kian mengkhawatirkan.

Banyak tenaga kerja yang mengalami layoff saat deindustrialisasi tidak langsung menganggur, tetapi bergeser menjadi pekerja setengah menganggur atau membantu bisnis keluarga. Secara statistik, mereka masuk kategori pekerja informal. Pergeseran ini menciptakan tantangan struktural bagi perekonomian.


Berimbas ke Penerimaan Negara

Indef juga menyoroti kondisi industri padat karya yang sedang terseok-seok, terutama di sektor tekstil dan pakaian jadi serta sebagian subsektor makanan dan minuman. Banyak pekerja di sektor-sektor tersebut yang kini berstatus informal sehingga kualitas lapangan kerja semakin menurun.

Ke depan, Andry menilai perlu langkah formalisasi tenaga kerja sekaligus reformasi struktur industri agar daya saing manufaktur kembali menguat. Artinya, bukan hanya mengubah nomenklatur status pekerja namun ada perbaikan mendasar pada struktur industri. Dia menambahkan bahwa akar masalah informalitas tenaga kerja juga berawal dari ketidaksesuaian antara sektor pendidikan dan kebutuhan industri. Banyak tenaga kerja yang masuk ke industri manufaktur tidak memiliki keahlian yang sesuai, sehingga mereka cenderung masuk ke sektor informal.

Indef pun mendorong pemerintah dan pelaku industri untuk lebih serius membangun sinergi antara dunia pendidikan, pelatihan vokasi, dan kebutuhan industri agar transformasi ketenagakerjaan dapat berjalan beriringan dengan pemulihan sektor manufaktur.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form