Saat Aman Tak Lagi Aman: Dilema Pekerja dalam “Job Hugging”

Fenomena Job Hugging: Tertahan di Pekerjaan yang Tidak Lagi Menantang

Empat tahun sudah Dita bekerja di sebuah startup teknologi di Jakarta. Saat pertama bergabung, suasana kerja penuh semangat dan ide segar. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, euforia itu perlahan meredup. Sejak pandemi, perusahaan mengalami restrukturisasi berulang kali. Beberapa divisi digabung, sebagian proyek dihentikan. Satu per satu rekan Dita meninggalkan kantor, ada yang terkena pemutusan hubungan kerja, ada pula yang memilih hengkang lebih dulu sebelum ketidakpastian datang.

Dita bertahan. Meski beban kerja kian berat dan benefit tak lagi terasa sepadan, ia belum berani melangkah ke luar. "Aku pengin pindah, tapi pasar kerja sekarang juga enggak mudah," ujarnya pelan. Ia menyadari ruang untuk berkembang di kantornya kini semakin sempit. Rotasi jabatan jarang terjadi, proyek baru berkurang, dan peluang promosi nyaris tak terdengar sejak restrukturisasi dimulai.

Fenomena seperti yang dialami Dita kini kian sering terdengar. Pasar kerja yang melambat, restrukturisasi di sejumlah sektor, dan meningkatnya otomatisasi membuat banyak pekerja memilih bertahan pada posisi yang sudah dijalani. Sebuah kecenderungan baru pun muncul di ruang diskusi profesional dan media sosial: job hugging.

Memeluk Pekerjaan demi Rasa Aman

Fenomena job hugging merujuk pada kondisi ketika seseorang tetap bertahan di pekerjaan yang dirasa aman secara finansial, meski tidak lagi memberi ruang berkembang. Menurut laporan tahun 2024 dari LinkedIn Workforce, 58% pekerja di Asia Tenggara mengaku "ragu pindah kerja" karena khawatir tidak menemukan peluang yang lebih baik. Sementara di Indonesia, laporan Katadata Insight Center menunjukkan tiga dari lima pekerja menilai pekerjaan mereka stagnan, tetapi mereka memilih bertahan karena situasi ekonomi belum menentu.

Psikolog klinis Wayan Kesawa menilai fenomena ini mencerminkan bagaimana banyak pekerja terjebak antara rasa aman dan kebutuhan untuk tumbuh. "Ketakutan utama bukan hanya kehilangan pendapatan, tapi juga kehilangan identitas profesional yang sudah dibangun bertahun-tahun," jelasnya kepada DW Indonesia. Ia menambahkan, stagnasi karier kerap diperkuat oleh tekanan ekonomi yang terus meningkat. "Ketika biaya hidup naik dan inflasi menekan daya beli, banyak orang akhirnya memprioritaskan stabilitas ketimbang perubahan. Mereka tahu, pekerjaan sekarang tidak lagi menantang, tapi juga khawatir langkah baru justru memperburuk kondisi finansial."

Dalam situasi seperti itu, rasa aman yang semula menenangkan justru bisa berubah menjadi jebakan. Pekerja menunda langkah bukan karena nyaman, melainkan karena takut mengambil risiko di tengah ketidakpastian ekonomi.

Ketika Aman Justru Melelahkan

Bertahan tidak selalu berarti nyaman. Dalam jangka panjang, kondisi job hugging dapat berdampak pada kesejahteraan mental dan menurunkan motivasi kerja. Riset American Psychological Association mencatat stagnasi karier sebagai salah satu pemicu utama stres kerja kronis pada pekerja usia produktif. Tekanan itu biasanya muncul bukan karena beban kerja berlebih, melainkan karena perasaan tidak lagi berkembang atau kehilangan arah dalam karier.

Menurut Wayan Kesawa, kehilangan ruang tumbuh sering kali membuat pekerja merasa hampa dan terjebak dalam rutinitas. "Ketika seseorang merasa tidak lagi tumbuh, semangat kerja menurun, dan kepercayaan diri ikut terkikis," ujarnya. Dita merasakan hal serupa. "Aku sudah beberapa kali coba ngobrol sama atasan soal proyek baru atau peluang pengembangan, tapi responsnya minim," katanya. Meski begitu, ia tetap bertahan, bukan karena nyaman, tapi karena ingin menjaga stabilitas di tengah ekonomi yang belum menentu.

Dampak pada Ekosistem Perusahaan

Dampak job hugging juga berpengaruh pada ekosistem perusahaan. Yani Sasmito Hadi, pakar personalia sekaligus pengurus Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) DKI Jakarta bidang ketenagakerjaan, menjelaskan bahwa rendahnya angka turnover atau keluar-masuk karyawan sering disalahartikan sebagai tanda stabilitas. "Padahal bisa jadi banyak yang bertahan bukan karena puas, tapi karena takut kehilangan rasa aman," katanya. Menurut Yani, job hugging dapat menciptakan "zona nyaman semu" yang membuat organisasi berjalan di tempat. "Kalau terlalu banyak karyawan bertahan tanpa semangat, inovasi dan adaptasi perusahaan ikut melambat," jelasnya.

Ia menambahkan, perusahaan perlu lebih peka mengenali tanda-tanda karyawan yang bertahan tapi tak bahagia. Hal ini bisa dilihat dari kinerja stabil tapi tanpa inisiatif baru, enggan mengambil tanggung jawab lebih, atau kehilangan minat pada pengembangan diri. Sebagai langkah pencegahan, perusahaan dapat membuka dialog karier yang lebih terbuka, memberi peluang rotasi lintas divisi, atau menyediakan akses pelatihan. "Kalau karyawan sudah berulang kali menyampaikan keinginan berkembang tapi tidak ada tindak lanjut, itu sinyal bagi perusahaan untuk introspeksi," tutur Yani.

Bertahan Secukupnya, Berkembang Sebisanya

Bertahan di satu pekerjaan bisa menjadi pilihan rasional di tengah ekonomi yang belum stabil. Namun, Wayan mengingatkan agar pekerja peka terhadap tanda-tanda stagnasi. "Kalau setiap hari terasa datar, kehilangan semangat, dan tidak lagi merasa belajar hal baru, itu sinyal bahwa seseorang mungkin sudah berhenti tumbuh," ujarnya. Menurutnya, langkah awal untuk keluar dari kondisi itu bukan selalu dengan langsung pindah kerja. Para job hugger bisa mulai dengan mengevaluasi dulu hubungan dengan pekerjaan yang dijalani. "Mulai dari hal kecil kayak ikuti pelatihan, ambil proyek di luar rutinitas, atau kembangkan keterampilan baru di luar kantor," ujar Wayan. Ia menekankan, "Tujuannya bukan sekadar bertahan, tapi tetap bergerak meski pelan."

Hal senada disampaikan Yani. Ia menilai, banyak karyawan ingin berkembang tapi terbentur sistem organisasi yang tertutup. "Kalau aspirasi karyawan tidak direspons, lama-lama semangat kerja turun dan tim kehilangan daya inovasi," ujarnya. Karena itu, perusahaan juga perlu membuka ruang dialog karier yang lebih aktif agar pekerja tidak merasa jalan di tempat.

Namun bagi Dita, ruang itu kini ia ciptakan sendiri. Ia menyadari belum bisa meninggalkan pekerjaannya di tengah kondisi ekonomi yang belum menentu dan biaya hidup yang terus meningkat. "Mungkin memang belum waktunya pindah," ujarnya. Meski begitu, di sela rutinitasnya, Dita mulai menapaki jalan baru: mengikuti berbagai sertifikasi daring, menjajal berjualan online, hingga memperluas jaringan profesional lewat komunitas digital. Untuk menambah penghasilan sekaligus menjaga semangat, ia juga mengambil pekerjaan sampingan sebagai MC, event organizer, dan tour planner. Semua itu dijalankan di antara tuntutan kerja yang terus menumpuk.

Tak jarang Dita merasa kewalahan. "Kadang merasa burnout banget," ia mengakui, "tapi, ya harus jalan terus."

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form