
Kebijakan E10: Tantangan dan Peluang dalam Sektor Transportasi
Pemerintah Indonesia sedang mempersiapkan kebijakan yang mengharuskan campuran bahan bakar minyak (BBM) berbasis etanol sebesar 10% (E10) dalam bensin. Meski langkah ini diharapkan mampu menekan ketergantungan terhadap impor BBM dan mengurangi emisi karbon, penerapan kebijakan ini masih menunggu peningkatan kapasitas produksi etanol nasional dalam jangka 2–3 tahun ke depan.
Etanol adalah bahan bakar nabati (BBN) yang dibuat dari bahan alami seperti tebu dan singkong. Proses pengolahannya menghasilkan bioetanol yang dapat dicampurkan dengan bensin. Inisiatif ini diharapkan menjadi solusi untuk mengurangi dampak lingkungan serta meningkatkan kemandirian energi nasional.
Kesiapan Kendaraan untuk Menggunakan E10
Menurut Yannes Martinus Pasaribu, pakar otomotif dan akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), mobil konvensional dengan mesin internal combustion engine (ICE) yang diproduksi setelah tahun 2010 dan dirakit di Indonesia umumnya sudah kompatibel dengan campuran etanol hingga E10 tanpa perlu modifikasi tambahan.
“Mobil-mobil ICE produksi 2010 ke atas yang dirakit di Indonesia umumnya sudah siap hingga E10 tanpa modifikasi. Untuk kendaraan hybrid yang baru muncul mulai 2024 jelas juga sudah aman,” ujar Yannes.
Sementara itu, kendaraan yang diproduksi sebelum tahun 2010 dianjurkan menggunakan campuran etanol hingga 5% (E5) agar tidak merusak komponen mesin. Namun, bagi pengguna kendaraan lama, Yannes menyarankan untuk memeriksa manual book kendaraan dan berkonsultasi dengan authorized service station masing-masing merek.
Dampak Teknis dan Lingkungan dari Penggunaan E10
Secara teknis, penggunaan E10 memiliki beberapa dampak. Pertama, etanol membantu meningkatkan angka oktan bensin, sehingga mencegah knocking atau kerusakan mesin. Selain itu, penggunaan E10 dapat menurunkan emisi karbon monoksida (CO) hingga 30% tanpa merusak sistem bahan bakar.
Namun, penurunan jarak tempuh akibat penggunaan E10 diperkirakan hanya sekitar 1%–3%. Hal ini disebabkan oleh rendahnya energy density etanol dibandingkan bensin. Menurut Bob Azam, Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), ketika etanol dicampurkan hingga 30% (E30), penurunan energi hanya sekitar 1%, sehingga dampak terhadap harga relatif kecil.
Etanol sebagai Solusi Lingkungan
Dari sisi lingkungan, penggunaan etanol disebut mampu menurunkan emisi hingga 65%. Di beberapa negara seperti India, program etanol mendapat subsidi pemerintah karena bahan bakunya berasal dari hasil pertanian. Peningkatan permintaan etanol turut meningkatkan pendapatan petani.
“Emisinya itu turun sampai 65%. Bahkan di beberapa negara seperti di India ini disubsidi, karena etanolnya dari petani. Jadi kalau misalnya demand-nya naik, income petani juga naik,” ujar Bob.
Kesiapan Industri Otomotif
Bob menambahkan bahwa seluruh lini produk Toyota di pasar Indonesia saat ini sudah kompatibel dengan BBM campuran etanol 20% (E20). Hal ini menunjukkan bahwa produsen otomotif di Indonesia sejatinya sudah siap menghadapi kebijakan mandatori E10.
Kesimpulan
Kebijakan E10 merupakan langkah penting dalam menjawab tantangan ketergantungan pada BBM fosil dan mengurangi dampak lingkungan. Meski ada tantangan dalam hal produksi etanol dan kesiapan kendaraan, kebijakan ini memberikan peluang besar untuk mengembangkan sektor energi terbarukan dan meningkatkan kesejahteraan petani. Dengan kesiapan industri otomotif dan dukungan pemerintah, E10 bisa menjadi bagian dari solusi masa depan transportasi yang lebih ramah lingkungan.