Kekalahan Hukum: Penundaan Eksekusi Silfester, Bukti Kekuasaan yang Disalahgunakan dan Pengawasan yang Tidur

Kekalahan Hukum: Penundaan Eksekusi Silfester, Bukti Kekuasaan yang Disalahgunakan dan Pengawasan yang Tidur

Kritik terhadap Proses Eksekusi Putusan Pengadilan

Kasus yang menimpa Silfester Matutina, yang terlibat dalam dugaan pencemaran nama baik Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla, kini berada di titik nadir yang sangat mengkhawatirkan. Proses eksekusi terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dinilai tidak berjalan dengan tegas dan jelas, justru menunjukkan ketidakjelasan yang sistematis.

Direktur Eksekutif Democratic Judicial Reform (DE JURE), Bhatara Ibnu Reza, menyebut bahwa Kejaksaan tidak serius dalam melaksanakan tugasnya dalam kasus ini. Ia menyoroti penggunaan berbagai dalih serta saling lempar tanggung jawab antara pihak Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dengan Kejaksaan Agung. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan tentang independensi dan kredibilitas lembaga peradilan, sekaligus menjadi indikasi kemunduran dalam upaya menegakkan kepastian hukum bagi seluruh warga negara.

Eksekusi putusan tersebut seharusnya dilakukan langsung setelah vonis 1,5 tahun pada 2019. Namun, pihak kejaksaan tidak segera melakukannya dengan alasan adanya pandemi Covid-19. Sebaliknya, terpidana Silfester Matutina justru menantang kejaksaan untuk segera mengeksekusinya. Ia bahkan sempat melakukan perlawanan dengan mengajukan upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali, meski permohonannya ditolak oleh pengadilan.

Jangankan melakukan eksekusi, kejaksaan justru meminta bantuan penasihat hukum dari terpidana untuk menghadirkan kliennya kepada jaksa eksekutor. Dalih kejaksaan bahwa Silfester tidak dapat ditemukan berbanding terbalik dengan fakta bahwa terpidana kasus fitnah ini masih secara bebas muncul di berbagai media massa. Sikap kejaksaan itu menimbulkan pertanyaan masyarakat bahwa korps Adhyaksa melakukan praktik tebang pilih dalam melakukan penegakan hukum.

Di sisi lain, Komisi Kejaksaan RI, sebagai pengawas eksternal, gagal menjalankan tugasnya dalam melakukan pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap kinerja serta perilaku Jaksa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan kode etik. Dalam kasus ini, Komisi Kejaksaan justru seolah turut serta dalam mengaminkan langkah kejaksaan dalam mengulur-ulur pelaksanaan eksekusi.

Sejak kasus ini kembali menjadi sorotan publik, Komisi Kejaksaan hanya mendorong tanpa disertai upaya mendesak kejaksaan. "Kami menilai kasus ini merupakan bukti bahwa keluasan kewenangan melalui peraturan perundang-undangan tidak menjamin upaya penegakan hukum," ujarnya.

Di sisi lain, kejaksaan jelas-jelas memiliki hasrat untuk memperluas kewenangannya melalui RUU KUHAP dan RUU Perubahan Kedua UU Kejaksaan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya check and balance antara penggunaan kewenangan dengan pengawasan kewenangan khususnya oleh institusi pengawas eksternal. Sejauh ini, tidak ada perubahan signifikan yang terlihat dalam rencana perubahan peraturan perundang-undangan untuk memperkuat kewenangan pengawasan.

Situasi ini menimbulkan kerentanan akan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam pelaksanaan penegakan hukum dan keadilan. "Kami mendesak Kejaksaan RI untuk secepatnya melakukan eksekusi terhadap terpidana Silfester Matutina serta juga Komisi Kejaksaan RI untuk melakukan tugasnya dalam mengawasi kinerja dan perilaku jaksa secara serius," pungkasnya.

Penyebab Ketidakjelasan dalam Penegakan Hukum

Banyak faktor yang menyebabkan ketidakjelasan dalam proses penegakan hukum, termasuk:

  • Kurangnya koordinasi antar lembaga
    Terdapat saling lempar tanggung jawab antara Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dengan Kejaksaan Agung, sehingga membuat proses eksekusi terhambat.

  • Ketidaktransparanan informasi
    Kejaksaan menggunakan dalih-dalih yang tidak jelas, seperti kesulitan menemukan terpidana, padahal fakta menunjukkan bahwa terpidana masih aktif di berbagai media massa.

  • Peran Komisi Kejaksaan yang tidak optimal
    Komisi Kejaksaan RI, sebagai pengawas eksternal, tidak menjalankan tugasnya secara efektif, sehingga memperparah situasi.

  • Peningkatan kewenangan tanpa pengawasan yang memadai
    Kejaksaan ingin memperluas kewenangannya melalui RUU KUHAP dan RUU Perubahan Kedua UU Kejaksaan, tetapi tidak ada mekanisme check and balance yang memadai.

Tuntutan untuk Pembenahan Sistem Hukum

Dari kasus ini, terlihat bahwa sistem hukum Indonesia masih memiliki banyak celah yang bisa dimanfaatkan. Untuk itu, diperlukan beberapa langkah penting, seperti:

  • Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas lembaga penegak hukum
    Lembaga-lembaga seperti Kejaksaan dan Komisi Kejaksaan harus lebih terbuka dalam menjalankan tugasnya.

  • Memperkuat mekanisme pengawasan eksternal
    Pengawasan oleh komisi-komisi yang independen harus diperkuat agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.

  • Mengoptimalkan peran lembaga pengadilan
    Pengadilan harus lebih proaktif dalam memastikan putusan hukum dieksekusi sesuai aturan.

  • Merevisi undang-undang terkait penegakan hukum
    Undang-undang yang ada perlu direvisi agar lebih memberikan perlindungan bagi hak-hak warga negara dan memastikan keadilan.


Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form