Kisah Amellia, Sopir Ambulans Perempuan yang Menyelamatkan Korban Ponpes Al-Khoziny

Peran Sosok Tangguh dalam Proses Evakuasi di Ponpes Al-Khoziny

Di tengah kekacauan dan rasa takut yang melanda, bunyi sirine terdengar nyaring di sekitar area Pondok Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur. Bunyi tersebut mengiringi langkah-langkah penyelamatan yang dilakukan oleh ribuan petugas SAR dan relawan yang berjuang tanpa henti untuk menyelamatkan korban dari reruntuhan bangunan yang tiba-tiba rubuh.

Belasan mobil ambulan terlihat siap sedia di lokasi kejadian, dengan para pengemudi dan tenaga medis yang bekerja keras untuk membawa para korban ke rumah sakit. Di balik proses evakuasi ini, ada satu sosok yang menjadi tulang punggung dalam koordinasi pengantaran korban, yaitu Amellia (42), seorang sopir perempuan yang bertindak sebagai koordinator ambulans.

Amellia menjadi pusat komunikasi antara puluhan relawan dari berbagai organisasi dan yayasan yang turut serta dalam operasi penyelamatan. Tugasnya adalah memastikan setiap korban, terutama anak-anak dan remaja, dapat segera mendapatkan pertolongan medis yang intensif.

“Saya koordinator ambulans. Hari Senin jam 16.15 WIB ambulans standby atas permintaan dari Polresta Sidoarjo, ada 15 unit awalnya. Lalu nambah ada sekitar 36 [unit],” jelas Amellia saat diwawancarai oleh media di lokasi kejadian.

Pada hari pertama kejadian, Senin (29/9/2025), satu ambulans bisa mengangkut hingga tiga korban luka-luka. Sejak pukul 16.00 WIB beberapa saat setelah kejadian, Amellia dan kawan-kawan relawan sopir ambulan rela untuk siap siaga di lokasi kejadian selama seharian penuh. Beberapa dari mereka bahkan tidak sampai pulang ke rumah dan keluarga masing-masing.

“Stay di sini 24 jam, ada yang bawakan baju. Yang pulang yang dekat aja. Ada yang bolak-balik berkali-kali,” tambah Amellia.

Bukan hanya melawan rasa letih, para relawan juga harus berjuang secara mental. Saat kali pertama datang, Amellia mengaku ia sampai menitikkan air mata ketika melihat kondisi anak-anak yang berlarian, dengan wajah penuh debu sambil menangis.

“Kalau datang ke sini hari pertama pasti menangis. Info awal [korban reruntuhan] 15 anak, ternyata banyak sekali anak-anak yang lari dengan wajah berdebu, mereka nangis,” bebernya.

Amellia dan koleganya pun langsung bergegas usai musibah itu terjadi saat para santri sedang menunaikan ibadah salat Ashar. Berbekal APD, mereka rela berjibaku tanpa henti selama proses evakuasi yang berlangsung selama delapan hari lamanya.

Walau tubuh mereka tidak mendapatkan jatah istirahat yang cukup, motivasi untuk menyelamatkan setiap nyawa dari para korban dijadikan sebagai bahan bakar untuk terus membawa ambulans dengan laju dalam serangkaian proses evakuasi yang tak sebentar.

“Kalau panik, pasti iya. Kami enggak ada jam istirahat. Kalau sudah mengantarkan jenazah dari sini, ke RS Bhayangkara Polda Jatim, kita istirahat sebentar, terus lanjut lagi,” ungkap Amellia.

Mayoritas armada ambulans yang siap sedia mengantarkan para korban tersebut adalah milik pribadi atau organisasi non-pemerintah (NGO). Amellia sendiri bahkan menerjunkan sebanyak dua ambulans dari Info Lantas Sidoarjo (ILS).

Saat ini, pencarian dan pertolongan terhadap korban telah dinyatakan selesai sepenuhnya oleh Basarnas pada hari kesembilan operasi. Lokasi kejadian telah dibersihkan dari reruntuhan bangunan tiga lantai yang diduga gagal konstruksi secara total. Namun, Amellia dan tim masih melanjutkan tugas kemanusiaan mereka.

Puluhan ambulan bergerak ke RS Bhayangkara Polda Jatim Surabaya dan masih bersiaga di sana. Mereka masih melanjutkan pengabdian dengan mengantar para santri asal Sidoarjo yang telah teridentifikasi identitasnya ke masing-masing rumah duka.

“Ini panggilan kemanusiaan, kita berangkat, evakuasi, selesaikan, pulang. Enggak ada gaji, kita relawan,” pungkasnya.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form