Banyak Kesalahan, Pukulan Ganda Gas Menghancurkan Pemerintah

Subsidi LPG dan Impor Gas: Pukulan Ganda bagi Pemerintah

Subsidi yang diberikan untuk liquified petroleum gas (LPG) dan impor gas alam menjadi tantangan berat bagi pemerintah. Selain nilai subsidi yang terus meningkat, penyaluran subsidi tersebut juga sering kali salah sasaran. Hal ini menimbulkan efisiensi yang rendah dan memberatkan anggaran negara.

Salah satu contoh adalah subsidi LPG tabung 3 kg atau yang dikenal sebagai gas melon. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pernah menyebutkan bahwa subsidi per tabung mencapai Rp30 ribu. Angka ini menggerus APBN sebesar Rp80,2 triliun pada tahun 2024. Direktur Eksekutif NEXT Indonesia Center Christiantoko mengungkapkan bahwa sebesar Rp52,7 triliun atau 64,7% dari total subsidi itu disalurkan kepada masyarakat yang tidak berhak.

Hasil kajian NEXT Indonesia Center menggunakan data survei sosial ekonomi nasional (Susenas) dari Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan bahwa masyarakat dalam kelompok pengeluaran di desil 5-10 turut menikmati LPG bersubsidi. Mereka adalah masyarakat dengan pengeluaran minimal hampir Rp1 juta per orang setiap bulan. Padahal, seharusnya komoditas tersebut hanya diberikan kepada kelompok masyarakat di desil 1-4, yaitu yang pengeluaran per orangnya sekitar Rp602 ribu-962 ribu per bulan.

Salah sasaran ini membuat penyaluran subsidi menjadi tidak efisien. Ini menjadi pukulan pertama dari gas melon. Pukulan kedua datang dari lonjakan harga gas alam di pasar internasional. Akibatnya, neraca perdagangan energi ikut tertekan, dan anggaran subsidi yang disiapkan bakal terus naik seiring dengan perubahan harga gas.

Tingginya impor gas alam juga berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi. Karena pada akhirnya net export (selisih ekspor terhadap impor) menjadi rendah, kemudian kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menciut. Dia menjelaskan bahwa keharusan impor gas alam, terutama dalam bentuk LPG untuk gas melon, karena lemahnya kemampuan produksi nasional yang jauh dari memadai untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Sejak tahun 2020, Indonesia selalu impor LPG di atas 6 juta ton. Pada 2024 misalnya, yang diimpor sudah mencapai 6,91 juta ton. Tragisnya lagi, produksi terhadap produk LPG juga terus turun. Berdasarkan riset NEXT Indonesia Center, produksi LPG terus turun secara konsisten sejak tahun 2015, yang ketika itu mencapai 2,28 juta ton. Sementara pada tahun 2024, produksinya tersisa 1,96 juta ton.

Kemampuan produksi yang terus melemah ini harus menjadi perhatian pemerintah, karena memberatkan anggaran dan membuat kita makin jauh dari harapan untuk mandiri di bidang energi. Kondisi tersebut, dia menekankan, sungguh ironi. Pasalnya, kemampuan produksi gas alam Indonesia selalu surplus. Pada tahun 2024 misalnya, produksi gas alam mencapai 2,8 juta MMSCF (million standard cubic feet). Sementara kebutuhan domestik hanya 2,5 juta MMSCF. Begitu pun dengan produksi gas alam cair atau (liquefied natural gas, LNG) yang surplus.

Hal ini menunjukkan bahwa hasil produksinya lebih senang diekspor dalam bentuk mentah, sementara kebutuhan terhadap produk jadi seperti untuk gas melon dibeli dari impor. Sebagian besar, gas alam didatangkan dari Amerika Serikat, kemudian Uni Emirat Arab, dan Qatar.

Potensi Dana Siluman dalam Perdagangan Gas Alam

Selain memberikan tekanan terhadap anggaran dan pertumbuhan ekonomi nasional, aktivitas perdagangan gas alam juga diwarnai oleh terjadinya kecurangan faktur perdagangan atau misinvoicing. Modus ini ditemukan dari perbedaan pencatatan faktur dalam ekspor gas alam ke sejumlah mitra dagang Indonesia.

Sebagai contoh ke Singapura. Riset NEXT Indonesia Center menemukan bahwa nilai ekspor gas alam ke negara tersebut dicatat lebih besar dari catatan impor Singapura. Dalam 10 tahun terakhir, yaitu periode 2015-2024, nilai misinvoicing mencapai US$1,2 miliar.

Perbedaan pencatatan itu bisa saja dimanfaatkan untuk memasukkan dana ilegal ke Indonesia dengan dalil tagihan dari faktur yang lebih besar tersebut. Hal serupa terjadi dengan impor. Sebagai contoh dengan Amerika Serikat. Indonesia mencatat nilai impor lebih tinggi, sementara Amerika Serikat mencatat lebih rendah.

Karena Indonesia membayar lebih mahal dari seharusnya, maka ada potensi kaburnya dana gelap dari sini dengan membonceng faktur dengan nilai yang lebih besar itu. Christiantoko mengingatkan, transaksi misinvoicing ini jelas merugikan negara dari sisi penerimaan. Karena itu, pemerintah harus telaten menyelidiki kasus tersebut agar dapat meningkatkan penerimaan negara tanpa harus bergantung pada kenaikan pajak terus-menerus.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form