Factory Tech
– Setiap orang memiliki cara masing-masing dalam menghadapi tekanan dan konflik dalam hidup. Beberapa orang memilih untuk langsung menghadapi masalah, sementara yang lain mencari jalan keluar sementara atau bahkan memilih untuk menghindar. Jika kamu pernah merasa menunda tugas, kabur dari masalah, atau mengalihkan perhatian agar tidak merasakan stres, itu bisa disebut sebagai avoidance coping.
Apa Itu Coping & Posisi Avoidance Coping di Dalamnya
Sebelum membahas lebih lanjut tentang avoidance coping, penting untuk memahami definisi umum dari coping. Menurut NCBI/StatPearls, coping adalah "pemikiran dan perilaku yang digerakkan untuk mengelola situasi stres internal atau eksternal." Coping dapat dilakukan secara sadar, berbeda dengan mekanisme pertahanan yang cenderung otomatis atau bawah sadar.
Dari klasifikasi umum, coping dapat dibagi menjadi beberapa kategori:
Problem-focused coping: Berfokus pada pengambilan tindakan untuk mengatasi akar masalah
Emotion-focused coping: Mengelola reaksi emosional terhadap situasi tertentu
Avoidance coping:* Menghindar dari stres atau tidak menghadapi masalah secara langsung
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan di Pubmed Central, avoidance coping didefinisikan sebagai strategi pasif di mana individu menjauh dari emosi, pikiran, atau tindakan yang berkaitan dengan stres. Artikel di Verywell Mind juga menyebutkan bahwa avoidance coping (atau avoidant coping) adalah strategi maladaptif di mana seseorang menghindari pikiran, perasaan, atau tindakan sulit agar tidak menghadapi stres secara langsung.
Dengan demikian, avoidance coping bisa diartikan sebagai cara "menjauh sementara" dari stres agar terasa ringan. Namun, dalam banyak kasus, hal tersebut justru bukan bagian dari solusi. Menghindar sebenarnya bukan tanda kelemahan, melainkan bentuk perlindungan alami dari otak ketika beban emosional terasa terlalu berat untuk dihadapi secara langsung.
Dalam dunia psikologi, hal ini dijelaskan melalui respons dasar sistem saraf yang dikenal dengan “lawan, lari, atau diam” (fight, flight, freeze). Saat seseorang menghadapi tekanan, otak akan memilih salah satu dari tiga reaksi tersebut untuk melindungi diri. Nah, avoidance coping sering kali merupakan bentuk "lari" versi emosional, bukan melarikan diri secara fisik, tapi menjauh dari perasaan tidak nyaman agar pikiran terasa lebih aman, setidaknya untuk sementara waktu.
Penelitian dari Frontiers in Psychology tentang Engaging Rather than Disengaging from Stress menunjukkan bahwa strategi seperti ini biasanya muncul ketika seseorang merasa kehilangan kendali terhadap situasi yang dihadapinya. Semakin rendah rasa kontrol yang dirasakan, semakin besar kecenderungan seseorang untuk menghindar.
Dalam jangka pendek, perilaku ini memang bisa memberikan rasa lega seperti saat kita menunda pekerjaan agar stres terasa berkurang, atau membuka media sosial untuk mengalihkan pikiran. Namun, rasa lega itu bersifat sementara dan sering kali justru memperpanjang siklus stres itu sendiri.
Selain faktor rasa kontrol, ketakutan terhadap konsekuensi emosional juga berperan besar. Banyak orang yang memilih menghindar karena takut menghadapi konflik, penolakan, atau kegagalan. Dengan cara itu, mereka merasa bisa melindungi diri dari rasa sakit atau kecewa, meskipun sebenarnya sedang menumpuk beban yang belum terselesaikan.
Bentuk-bentuk avoidance coping pun bisa muncul dalam berbagai perilaku sehari-hari. Misalnya, menunda-nunda tugas penting, membatasi interaksi sosial saat stres, atau menarik diri sepenuhnya dari lingkungan sekitar. Kadang, seseorang juga terlalu sibuk mencari distraksi, contohnya dengan menonton terus-menerus, scrolling tanpa henti di media sosial, atau bahkan menyangkal bahwa ada masalah yang perlu diselesaikan. Ada pula bentuk yang lebih halus, seperti berpikir terus-menerus tentang hal-hal lain (brain escape) agar tidak perlu berhadapan dengan inti persoalan.
Meski menghindar bisa terasa lega sesaat, avoidance coping membawa risiko yang tidak kalah serius. Saat masalah tidak dihadapi, stres yang seharusnya bisa terselesaikan justru menumpuk dan menimbulkan dampak jangka panjang bagi kesejahteraan fisik dan mental. Misalnya, kecemasan bisa meningkat, rasa bersalah muncul karena tugas tertunda, dan kepercayaan diri perlahan menurun karena merasa selalu gagal menghadapi situasi.
Selain itu, hubungan interpersonal juga bisa terganggu, karena menghindari konfrontasi membuat komunikasi menjadi kurang efektif. Tidak hanya itu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa strategi menghindar berkorelasi dengan gangguan tidur dan menurunnya kualitas hidup secara keseluruhan.
Dengan kata lain, menghindar terus-menerus mungkin terasa aman untuk sementara, tapi sebenarnya memperpanjang siklus stres dan menahan kita dari pertumbuhan pribadi yang sehat.
Untungnya, avoidance coping bukan hal yang tidak bisa diubah. Berikut lima langkah praktis untuk beralih ke strategi coping yang lebih adaptif:
1. Kenali Pola Menghindar
Sadari kapan dan bagaimana kamu mulai menghindari stres, apakah melalui penundaan, distraksi, atau menarik diri. Kesadaran adalah langkah pertama untuk perubahan.
2. Pecah Masalah Menjadi Langkah Kecil
Menghadapi seluruh masalah sekaligus terasa berat. Bagi menjadi tugas-tugas kecil yang lebih mudah dicapai sehingga rasa cemas berkurang.
3. Ganti dengan Coping Aktif
Alihkan strategi menghindar ke langkah konkret seperti menyelesaikan masalah, meditasi, journaling, atau olahraga ringan untuk menenangkan pikiran.
4. Tingkatkan Persepsi Kontrol
Ambil tindakan meski kecil, karena keterlibatan langsung dalam mengatasi stres meningkatkan rasa kontrol dan mengurangi kecemasan jangka panjang.
5. Cari Dukungan & Terima Ketidaknyamanan
Ceritakan perasaanmu kepada teman, keluarga, atau profesional. Mengizinkan diri untuk merasa cemas atau tidak nyaman adalah bagian dari pertumbuhan, bukan kelemahan.
Menghindar saat stres adalah hal yang wajar, namun penting untuk mengenali pola ini dan mulai mengambil langkah-langkah nyata. Dengan perlahan menghadapi masalah, kita bisa mengurangi tekanan emosional dan membangun rasa percaya diri yang lebih kuat. Jangan takut untuk meminta bantuan atau berbagi perasaan sebab terkadang dukungan dari orang lain adalah dorongan terbesar bagi kita untuk terus maju.