Pemerintah Indonesia tengah merancang peningkatan rasio pajak (tax ratio) hingga mencapai 12% dalam jangka waktu satu tahun. Namun, rencana ini dinilai terlalu ambisius dan sulit untuk direalisasikan tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi nasional yang masih dalam proses pemulihan.
Fajry Akbar, seorang pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), menyatakan bahwa target tersebut tidak realistis karena kenaikan rasio pajak tidak bisa dilakukan secara instan tanpa memperhitungkan kapasitas ekonomi negara. Ia menegaskan bahwa mengatur target pajak dengan cara yang terlalu cepat dapat berdampak pada stabilitas makroekonomi serta iklim usaha.
“Saya kira jangan dipaksa ditargetkan demikian, karena hal itu akan berdampak pada kehati-hatian dalam pengelolaan negara. Konsekuensinya bisa mempengaruhi stabilitas makroekonomi dan iklim usaha,” ujarnya kepada Factory Tech, Minggu (12/10/2025).
Fajry juga memprediksi bahwa realisasi penerimaan pajak tahun ini tidak akan mencapai target yang diharapkan. Ia menyatakan bahwa hasilnya akan jauh lebih rendah dibandingkan realisasi tahun lalu. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah dalam memperkirakan potensi pajak secara akurat.
Menurut Fajry, penetapan target penerimaan pajak seharusnya dilakukan secara bottom-up, yaitu berdasarkan potensi riil di lapangan, bukan dengan pendekatan top-down yang hanya didorong oleh kebutuhan belanja pemerintah. Ia menyoroti risiko adanya praktik pemungutan pajak yang agresif atau bahkan abusive di lapangan jika target pajak hanya ditetapkan demi memenuhi kebutuhan spending pemerintah.
Selain itu, Fajry menilai bahwa wacana pemerintah untuk memperluas basis pajak dengan memajaki sektor shadow economy atau ekonomi informal tidak bisa dilakukan secara cepat. Sektor ini dikenal sebagai sektor yang sulit untuk dipajaki karena sifatnya yang tidak terstruktur dan tidak tercatat secara resmi.
Fajry menekankan bahwa di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, fokus pemerintah seharusnya bukan pada peningkatan target pajak, tetapi pada penguatan peran sektor swasta sebagai dasar penerimaan pajak. Ia menyarankan dua langkah utama:
- Memberikan kepastian hukum kepada dunia usaha di tengah ketidakpastian global yang tinggi. Tanpa kepastian ini, pelaku usaha cenderung enggan berinvestasi. "Tak heran jika undisbursed loan masih tinggi," katanya.
- Memberi ruang bagi sektor swasta untuk berkembang. Aturan yang terlalu ketat terhadap pelaku usaha harus dicabut. "Kalau swasta dikekang, ekonomi sulit tumbuh, dan penerimaan pajak ikut mandek," tambahnya.
Di sisi lain, Prianto Budi Saptono, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), menilai bahwa peluang peningkatan tax ratio hingga 12% masih terbuka meskipun tantangannya besar. Ia menjelaskan bahwa peningkatan penerimaan pajak dapat dicapai melalui dua strategi utama: intensifikasi dan ekstensifikasi.
Intensifikasi dilakukan dengan memperkuat pengawasan kepatuhan material melalui penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan Keterangan (SP2DK), pemeriksaan pajak, hingga pemeriksaan bukti permulaan. Sementara itu, ekstensifikasi dilakukan dengan menambah jumlah wajib pajak (WP) baru, termasuk dari sektor ekonomi bawah tanah.
Prianto menilai bahwa strategi ini memiliki potensi efektif jika didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang membaik. Pemerintah saat ini sedang menggelontorkan dana sebesar Rp 200 triliun untuk mendorong kegiatan ekonomi riil. Dengan ekonomi yang tumbuh, laba usaha meningkat sehingga PPN dan PPh badan juga naik.
Ia menilai target penerimaan pajak tahun depan sebesar Rp 2.357,7 triliun masih realistis karena disusun dengan pendekatan bottom-up dari seluruh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di Indonesia. Pendekatan ini dinilai lebih realistis karena langsung berasal dari garda terdepan petugas pajak di KPP.