Opensignal: Kecepatan Starlink Menurun Pasca-Rilis Tahun Lalu di Indonesia

Penurunan Kinerja Starlink di Indonesia

Perusahaan analitik jaringan seluler internasional, Opensignal, baru-baru ini merilis laporan terbaru yang mengungkapkan bahwa kecepatan internet Starlink di Indonesia mengalami penurunan signifikan setelah satu tahun beroperasi. Dalam laporan berjudul “Starlink di Indonesia—Satu Tahun Berlalu”, Opensignal mencatat adanya kemacetan jaringan yang memengaruhi kinerja layanan tersebut secara signifikan.

Menurut laporan tersebut, kecepatan unduh dan unggah Starlink telah turun drastis sejak peluncurannya pada Mei 2024. Pada awal pengoperasian, kecepatan unduh rata-rata Starlink mencapai 42 Mbps dan kecepatan unggah 10,5 Mbps. Namun, data Opensignal menunjukkan bahwa pada pertengahan 2025, kecepatan tersebut turun menjadi 15,8 Mbps untuk unduhan dan 5,4 Mbps untuk unggahan. Skor pengalaman video juga mengalami penurunan dari 58,1 menjadi 53,1.

Penyebab Penurunan Kinerja

Opensignal menyebutkan bahwa penurunan kinerja ini disebabkan oleh lonjakan jumlah pengguna yang memicu kemacetan jaringan. Permintaan yang meningkat pesat membuat Starlink harus menghentikan sementara pendaftaran baru. Ketika layanan kembali dibuka pada Juli 2025, pelanggan baru dikenai biaya tinggi, mulai dari US$490 hingga US$574 atau sekitar Rp8 juta hingga Rp9,4 juta.

Meski kecepatannya menurun, Opensignal mencatat adanya peningkatan konsistensi kualitas dari 24,2% menjadi 30,9% dalam periode yang sama. Lembaga riset tersebut menilai bahwa peningkatan ini menunjukkan latensi yang lebih rendah serta perbaikan infrastruktur.

Perbandingan dengan Layanan FWA

Dalam perbandingan langsung dengan layanan fixed wireless access (FWA), Opensignal menilai bahwa Starlink hanya unggul dalam kecepatan unduh, sementara FWA lebih baik di hampir semua indikator lainnya, terutama konsistensi kualitas. Data lembaga itu menunjukkan bahwa kecepatan unduh FWA tercatat 14,8 Mbps, unggahan 8,3 Mbps, dan konsistensi kualitas 49,7%, jauh di atas Starlink yang hanya 30,9% pada metrik serupa.

FWA juga mencatat skor pengalaman video yang lebih baik, yakni 55,2 dibandingkan 53,1 milik Starlink. Sebagian besar layanan FWA di Indonesia masih berbasis 4G, sementara pengembangan 5G berjalan secara bertahap karena keterbatasan spektrum. Operator beralih ke 4G FWA sebagai solusi yang pragmatis dan layak secara komersial untuk memenuhi permintaan pasar.

Pertumbuhan Segmen FWA

Segmen FWA saat ini didominasi oleh Telkomsel melalui produk Orbit, yang mencatat pertumbuhan pengguna 31% menjadi 1,1 juta pelanggan pada 2023. XLSMART juga menawarkan layanan serupa, sedangkan Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) mulai masuk ke pasar ini pada 2024 dengan produk HiFi Air yang diluncurkan bersamaan dengan kerja sama ekspansi jaringan bersama Nokia.

Peran Starlink di Wilayah Kepulauan

Opensignal menilai bahwa meskipun performa Starlink di Indonesia menurun secara agregat, layanan ini tetap memiliki peran strategis dalam memperluas konektivitas di wilayah kepulauan. Starlink menawarkan kinerja yang lebih merata secara nasional, memperluas akses hingga ke provinsi-provinsi terpencil di bagian timur seperti Maluku dan Papua. Sebaliknya, FWA lebih berfokus di Jawa, Sumatra, dan wilayah barat yang padat penduduk.

Namun, laporan tersebut juga menyoroti bahwa konsistensi kualitas Starlink masih lebih lemah di wilayah pedesaan, sementara FWA menunjukkan performa yang lebih stabil di berbagai tipe daerah. Selain aspek teknis, Opensignal menyinggung tantangan regulasi yang dihadapi Starlink di Indonesia.

Tantangan Regulasi dan Masa Depan Starlink

Menjelang peluncurannya pada Mei 2024, Starlink memperoleh izin VSAT dan ISP, namun Kominfo mengharuskan perusahaan tersebut mendirikan Network Operation Center (NOC) lokal untuk memantau layanan, karena dikhawatirkan jaringan satelitnya melewati gerbang domestik. Pemerintah juga memberlakukan pembatasan roaming untuk layanan broadband tetap berbasis satelit, serta pengawasan dari KPPU, yang merekomendasikan agar Starlink difokuskan pada wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

Laporan tersebut menegaskan bahwa masa depan Starlink di Indonesia akan sangat bergantung pada kemampuannya memperluas kapasitas, menjaga stabilitas kinerja, dan memposisikan diri sebagai pelengkap bagi FWA dan jaringan fiber, bukan pesaing langsung. Jika masalah-masalah tersebut dapat diatasi, Starlink berpotensi memainkan peran lebih besar dalam ekosistem digital Indonesia dan mendukung tujuan pemerintah dalam memperluas konektivitas serta inklusi digital.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form