
Presiden Donald Trump Berkunjung ke Mesir untuk Hadiri KTT Perdamaian Gaza
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, tiba di Mesir pada Senin (13/10/2025) untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perdamaian Gaza di Sharm el-Sheikh. Kunjungan ini dilakukan hanya sehari setelah ia secara resmi mengumumkan bahwa perang di Gaza telah berakhir, pada Minggu (12/10/2025).
Trump akan memimpin konferensi bersama Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi. Lebih dari 20 pemimpin dunia dijadwalkan hadir dalam acara ini. Di antaranya adalah Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, serta para pemimpin dari Inggris, Italia, Spanyol, Prancis, dan Yordania. Tak ketinggalan, Presiden Indonesia Prabowo Subianto juga dijadwalkan hadir.
Menurut Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, kehadiran Prabowo merupakan hasil dari undangan khusus yang datang secara mendadak. Hal ini menunjukkan pentingnya peran Indonesia dalam upaya menciptakan perdamaian di kawasan tersebut.
Dari Kota Strategis ke Kota Perdamaian
KTT ini akan digelar di Sharm el-Sheikh, sebuah kota resor di pesisir tenggara Semenanjung Sinai, Mesir. Dikenal sebagai permata di tepi Laut Merah, kota ini tidak hanya terkenal dengan panorama lautnya yang memukau, tetapi juga dengan sejarahnya yang panjang dan penuh gejolak.
Sharm el-Sheikh sempat diduduki Israel pada periode 1967–1982. Selama masa pendudukan, Israel membangun kawasan ini sebagai kota wisata. Setelah dikembalikan ke Mesir, pembangunan dilanjutkan hingga kota ini menjelma menjadi salah satu destinasi wisata paling populer di Timur Tengah.
Namun, daya tarik kota ini tak hanya terletak pada keindahan laut dan terumbu karangnya. Lokasinya yang strategis, tepat di pintu masuk Teluk Aqaba, memberikan nilai penting secara militer dan geopolitik. Sekitar 23 kilometer timur laut dari kota ini terletak Selat Tiran, jalur sempit yang menjadi saksi sejarah berbagai konflik.
Dulu, Mesir pernah menempatkan meriam untuk memblokir kapal menuju pelabuhan Elat di Israel, memicu ketegangan yang berujung pada Perang Enam Hari pada tahun 1967. Kawasan ini pun sempat menjadi zona yang diawasi Pasukan Darurat PBB, hingga akhirnya kembali dikuasai Israel dalam perang tersebut. Baru pada awal 1980-an, pasukan Israel mundur sepenuhnya dari Sinai setelah kesepakatan damai Camp David dengan Mesir.
Dari Konflik ke Pariwisata Kelas Dunia
Hari ini, Sharm el-Sheikh nyaris tak menyisakan jejak konflik. Deretan resor mewah, restoran kelas atas, dan klub malam modern berdiri di sepanjang garis pantainya. Laut yang jernih dan kekayaan bawah lautnya menjadikan kota ini surga bagi para penyelam dan pencinta snorkeling.
Letaknya yang strategis dan fasilitasnya yang lengkap menjadikan Sharm el-Sheikh lokasi favorit untuk berbagai konferensi internasional. Tak heran jika UNESCO menganugerahi kota ini gelar "City of Peace" atau Kota Perdamaian.
Kota Perlindungan Hosni Mubarak
Sharm el-Sheikh juga punya catatan menarik dalam sejarah politik Mesir. Saat gelombang revolusi mengguncang Mesir pada 2011, Presiden Hosni Mubarak yang telah berkuasa selama tiga dekade, dilaporkan melarikan diri ke kota ini setelah dipaksa mundur. Dengan pengamanan ketat dan pengawal bersenjata lengkap, Mubarak tinggal di sebuah vila di kota ini.
Meski bukan tempat termewah di kawasan tersebut, vila itu menjadi simbol keterasingan seorang penguasa dari rakyatnya sendiri. Kini, Sharm el-Sheikh kembali menjadi sorotan dunia. Kota yang pernah menjadi titik panas konflik, kini menjadi panggung diplomasi dan harapan baru bagi perdamaian Gaza.
KTT yang dihadiri para pemimpin dunia ini diharapkan membuka jalan menuju solusi damai yang adil dan berkelanjutan bagi kawasan yang selama puluhan tahun dilanda ketegangan.