Rokok Elektronik: Lebih Berbahaya daripada Kretek? Fakta dan Sejarah Menyatakan

Pawai jumlah perokok pemuda di Indonesia kian memprihatinkan. Pada acara peluncuran media "Hari Bebas Rokok Dunia" tanggal 2 Juni 2025, Departemen Kesehatan menyatakan bahwa hampir 75% dari para perokok di negri kita ini telah merokok saat masih berusia kurang dari dua puluh tahun, dimana terdapat 23,1% yang sudah mulai merokok ketika mereka baru berumur sepuluh sampai empat belas tahun serta 52,1% lainnya yang melakuakan hal tersebut antara umur lima belas sampai delapanbelas tahun. Hal itu merupakan suatu alarm kuat untuk seluruh komponen masyarakat. Generasi penerus bangsa tengah hilang akibat asap rokok tebal, tak sekedar disebabkan oleh barang hasil tembakau namun juga dikarenakan regulasi yang tidak tegas.

Tindakan merokok tak hanya sebatas perilaku personal, tapi juga merupakan produk dari pembentukan sosial yang rumit. Penggambaran rokok dalam bentuk iklan, kampanye marketing, serta dukungan perusahaan tembakau menciptakan persepsi bahwa mengisap rokok adalah simbol kehidupan moderen, bahkan cool. Ironinya, Indonesia tetap termasuk negara-negara yang belum sepenuhnya memblokir iklan tentang rokok; hal ini bertolak belakang dengan 144 negeri lain yang telah maju dalam upaya tersebut. Saat si kecil menyaksikan klip iklan rokok lewat TV, platform digital, hingga acara olahraga, mereka tertanam pemikiran kalau merokok itu erat hubungannya dengan gambaran laki-laki tangguh, petualang, dan matang.

Meski demikian, di saat arus kritis mengarah ke industri rokok sedang meluas, penting bagi kita untuk dapat membuat pembagian antara rokok jenis komersial yang dipenuhi dengan zat tambahan serta produk-produk tembakau seperti kretek yang memiliki dasar sejarah dan kemungkinan manfaat medis. Kretek, sebuah bagian dari warisan budaya Indonesia, lahir dari campuran tembakau dan cengkeh yang awalnya dimanfaatkan sebagai obat alternatif oleh Jamhari di Kudus pada tahun 1890-an. Temuan ini mula-mulanya bertujuan untuk menenangkan gejala sesak nafas, tidak hanya sekadar menjadi barang hiburan.

Saat putra-putri kita mulai menghisap rokok pada umur 10 tahun, ini tidak hanya merupakan ketidakmampuan individu tetapi juga kegagalannya secara sistematik. Kami perlu berani dalam menentukan apa yang menjadi harta karun dari budaya sehat serta memilah-milah hal-hal buruk yang disembunyikan dengan dalih sebagai cara hidup.

Hasil penelitian yang dijalankan oleh Dr. Gretha Zahar bersama Prof. Sutiman Bambang Sumitro, seperti dituangkan dalam karya mereka "Divine Kretek: Rokok Sehat" pada tahun 2011, mencerminkan adanya zat-zat bioaktif pada campuran tembakau murni serta bumbu-bumbu tradisional. Zat tersebut diyakini dapat bertindak sebagai antioksidan dan juga membantu meningkatkan fungsi saluran pernafasan. Walaupun demikian, masih diperlukan pengujian tambahan menggunakan metode riset kontemporer untuk mendapatkan konfirmasi lebih jelas atas manfaatnya; namun, penting bagi kita untuk menyadari jika tidak seluruh jenis rokok datang dari latar belakang atau prinsip yang serupa.

Tepat sebalinya, kedatangan rokok elektronik atau vape malah menciptakan ironi tersendiri. Produk ini kerap diperkenalkan sebagai pilihan yang lebih bermanfaat bagi kesehatan; namun, banyak penelitian global mengungkapkan bahwa vape dapat menyebabkan masalah pernapasan mendadak, memiliki potensi kecanduan nikotin yang semakin kuat dikarenai fokus pada larutan dengan kadar tidak standarisasi, serta ancaman paparan senyawa kimia baru yang belum pernah hadir dalam jenis tembakau tradisional. Bahkan menjadi tragis ketika vape jadi lebih gampang didapatkan oleh kalangan pelajar dan remaja lantaran pandangan mereka yang melihat produk tersebut sebagai sesuatu yang trendi, aromatis seperti buah-buahan, dan lepas dari citra negatif merokok secara umum.

Saat ini, kami dihadapkan pada konflik antara menjaga anak-anak dari kecanduan nikotin dengan melestarikan budaya tembakau sebagai elemen penting dari warisan, jati diri, serta perekonomian negara. Di tengah situasi tersebut, diperlukan aturan yang disesuaikan daripada memberlakukan pembatasan umum untuk seluruh jenis barang hasil tembakau. Kami harus menegakkan kontrol yang lebih kuat atau bahkan melarang rokok elektornik dan sigaret impor besar-besaran, sedangkan kretek lokal bisa dipertimbangkan lagi dalam perspektif penyembuhan dan nilai-nilai budaya.

Kami tak dapat mengabaikan fakta bahwa Industri Hasil Tembakau (IHT) masih memberdayakan jutaan orang dalam berbagai sektor, mulai dari pertanian tembakau sampai industri pengolahan. Pajak rokok setiap tahun membawa kontribusi besar dengan nilai melebihi 200 triliun rupiah untuk pendanaan negara. Akan tetapi, apabila kita memandang remeh dampak kesehatannya terhadap kesehatan masyarakat serta kaum muda, manfaat tersebut hanya bakal menjadikan suatu paradoks di mana kemakmuran bangsa disertai oleh penyakit warganya; sebuah perkembangan yang tidak merata dimana negera tampil sejahtera sementara rakyatnya menuju kesengsaraan akibat masalah kesehatan.

Solusi utamanya bukan berupa penolakan total pada industri tembakau, tetapi perkuatan aturan berdasarkan jenis produk serta tingkat resiko masing-masing. Pihak pemerintahan penting untuk mengenali perbedaan antara barang-barang adiktif bersifat rekreasioanal dan produk hasil tembakau asli yang membawa nilai sejarah dan potensi manfaat bagi kesehatan. Sigaret kretek ini warisan budaya Jawa dari masa lalu yaitu sejak zaman Raffles hingga catatan Catatan Babad Ing Sangkala; hal tersebut menjadi elemen tak terpisahkan dalam jejak sejarah nasional kita dan jangan dibanding-bandingkan semudah itu dengan rokok biasa maupun vape modern.

Penting untuk melakukan pendidikan publik yang kritis daripada hanya mengadakan kampanye etika saja. Anak-anak dan remaja seharusnya diberi pengetahuan mendalam tentang bahaya narkoba, eksposur terhadap iklan, serta bagaimana bisnis beroperasi dengan manipulatif dalam hal pola hidup. Sebaliknya, kalangan muda juga harus diarahkan agar menyadari bahwa tiap jenis konsumsi rokok dapat menimbulkan dampak bervariasi, entah itu bagi kondisi fisik atau aspek budayanya.

Kretek bermula dengan tujuan penyembuhan, bukan kerusakan. Namun saat ini, generasi muda terpapar oleh iklan dan perangkat elektronik seperti vape yang aromanya enak. Menjaga kehidupan di masa mendatang tidak selalu berarti menentang warisan, tetapi lebih kepada memutuskan secara tepat apa saja yang patut dipertahankan.

Saatnya Indonesia mendirikan Lembaga Regulasi Produk Tembakau mandiri yang bertindak sebagai regulator etis dan ilmuwan untuk menata klasisfikasi, pemasaran, serta pemantauan barang-barang hasil tembakau dan nikotin. Tanpa lembaga seperti itu, pembuatan aturan akan selalu goyah di antara desakan dari sektor bisnis, fakta-fakta medis, dan pertimbangan politik singkat. BPOM mungkin sudah mempunyai fungsi serupa, tetapi akan lebih optimal apabila dibuat dengan melibatkan banyak pihak terkait secara bersama-sama.

Di samping itu, pihak berwenang perlu mengakselerasi penyempurnaan aturan tentang iklan dan promosi tembakau, dengan penekanan khusus pada penghapusan seluruh bentuk iklan di area umum yang dapat dijangkau oleh anak-anak. Ini mencakup larangan dukungan finansial untuk kegiatan seperti acara olahraga, konser serta platform online lainnya. Kami tak boleh menantikan transformasi tingkah laku pemuda kalau mereka tetap ditempa bahwa merokok merupakan elemen dari momen bahagia sepanjang hayat.

Sadar akan fakta bahwa kretek bermula dari praktik kesehatan tradisional, bukan sekedar barang hiburan massa, perlu direevaluasi sesuai zaman saat ini. Bila di Eropa rempah-rempah dikenal sebagai superfood, lantas kenapa di Indonesia rempah dalam wujud kretek malah mendapat stigma negatif? Tidak tentunya hal itu menjurus kepada dorongan agar anak-anak mulai merokok kretek, melainkan memulihkan nilai asli kretek sebagi obat herbal serta bagian penting dari warisan budaya, daripada hanya menjadi produk konsumsi biasa.

Pada akhirnya, kita harus jujur dengan diri kita sendiri: Apakah kita mau agar generasi di masa depan berkembang secara sehat dalam sebuah masyarakat bercirikan budaya, atau malah tersesat dalam kabut dari industri global tentang nikotin? Indonesia memerlukan keberanian untuk merombak kembali aturan-aturan terkait tembakau; ini artinya memberikan hukuman bagi produk-produk bernarkoba, melindungi warisan yang ada, serta mendidik anak-anak muda. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk membicarakan masalah rokok secara langsung, sambil tidak meninggalkan nilai-nilai tradisi dan juga tetap sadar akan bahayanya bagi kesehatan.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form